Ragam Istilah yang Digunakan dalam Asuransi Syariah

Inilah Ragam Istilah yang Digunakan dalam Asuransi Syariah bagi Anda yang belum mengerti mengenai istilah-istilah tersebut. Semoga bermanfaat.

Istilah yang Digunakan dalam Asuransi Syariah - Asuransi syariah apapun itu jenisnya memiliki cara kerja unik sehingga peminatnya juga semakin banyak. Terlepas dari istilah yang digunakan, sebenarnya asuransi syariah tidak hanya diperuntukkan bagi pemeluk agama islam dan siapa saja diperbolehkan untuk ikut berasuransi.

Istilah yang Digunakan dalam Asuransi Syariah

Meskipun demikian mekanisme kerjanya diatur dan harus diselaraskan dengan prinsip-prinsip syariat Islam seperti penempatan dana ketika digabungkan dengan investasi, sistem pengelolaan yang harus transparan, tidak boleh adanya unsur kecurangan, tidak boleh adanya kegiatan untuk mencari keuntungan sepihak dan lain sebagainya.

Baca Juga : Inilah beberapa Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik

Informasi ini kami tulis untuk siapa saja yang minat dengan asuransi syariah namun masih bingung dengan istilah-istilah yang digunakan. Kita sebut salah satu contoh istilah dalam asuransi yaitu premi. Dalam asuransi syariah hampir sedikit yang menggunakan istilah premi namun diganti dengan istilah kontribusi mengingingat sistem perjanjian yang diselenggarakan bukan murni perjanjian jual beli.

Daftar Istilah Lengkap dalam Asuransi Syariah

Dalam pengertian yang lebih mengerucut, istilah-istilah dalam asuransi syariah yang akan dibahas disini adalah hal-hal pokok saja terutama yang berkaitan dengan perjanjian (akad) yang tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional maupun Peraturan Menteri Keuangan (No.18/PMK.010/2010). Selebihnya, produk asuransi syariah juga memakai istilah-istilah yang biasa digunakan dalam asuransi pada umumnya.

Asuransi Syariah

Sesuai dengan Fatwa DSN NO.21/DSN-MUI/X/2001, asuransi syariah yang disebut juga dengan Ta’min, Takaful atau Tadhamun merupakan bentuk usaha untuk saling melindungi dan tolong-menolong antar sejumlah orang/pihak melalui investasi. 

Investasi tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk tabarru’ atau aset dengan pola pengembalian untuk mengantisipasi adanya resiko yang tidak terduga. Semuanya harus dilaksanakan dengan akad tertentu sesuai dengan prinsip syariah.

Akad

Akad sebagaimana untuk asuransi syariah didefinisikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.10/2010 sebagai sebuah perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan tertentu beserta hak dan kewajiban para pihak sesuai dengan prinsip syariah. 

Dengan demikian perjanjian tertulis tersebut harus bebas dari unsur penipuan (gharar), perjudian (maysir), riba, penganiayaan (zhulm), suap (risywah), haram dan maksiat. Ketentuan prinsip akad yang sesuai dengan syariah tersebut diatur dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No.21/DSN-MUI/X/2001.

Akad Tabarru’

Dalam asuransi syariah dikenal dengan istilah akad tabarru’ pada semua jenis asuransi. Ini adalah prinsip atau hal dasar yang harus ada pada produk asuransi syariah. Tabarru’ merupakan sistem penghimpunan dana untuk tujuan kebaikan dan tolong-menolong antar sesama peserta asuransi. 

Dana yang dihimpun tersebut dianggap sebagai hibah dan perusahaan asuransi akan menjembatani mekanismenya. Perusahaan tidak diperbolehkan memanfaatkan dana hibah tersebut untuk keperluan komersil kecuali ada akad lain (mudharabah) yang disepakati oleh pemilik dana dan perusahaan. Hal tersebut dapat dipelajari dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No.53/DSN-MUI/III/2006.

Kontribusi

Kontribusi adalah Premi

Akad Wakalah bil Ujrah

Dengan memberikan sejumlah biaya (ujrah) peserta diperbolehkan untuk mempercayakan pengelolaan dana kepada pihak perusahaan untuk berbagai kepentingan, misalnya investasi. Dalam asuransi syariah kesepakatan tersebut dinamakan akad wakalah bil ujrah. Akad ini berlaku pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru’ (non-saving).

Ketika dana tersebut dipercayakan untuk keperluan investasi dengan akad wakalah bil ujrah, maka perusahaan asuransi tidak berhak mengambil keuntungan dari hasil investasi tersebut. Prinsip wakalah adalah saling percaya (amanah) dan bukan sebagai tanggungan. Dalam hal ini perusahaan (wakil) tidak menanggung resiko atas kerugian investasi kecuali karena kecerobohan.

Namun demikian ketika investasi dilakukan berdasarkan akad mudharabah atau mudharabah musytarakah, maka perhitungannya berbeda lagi. Biasanya perusahaan akan menerima bagi hasil sesuai dengan kesepakatan. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada fatwa DSN No.52/DSN-MUI/III/2006.

Akad Mudharabah

Ini adalah kebalikan dari akad wakalah bil ujrah, dimana peserta tidak dikenakan biaya (fee/ujrah) atas keputusannya untuk mempercayakan pengelolaan dana tabarru’ kepada perusahaan. Perusahaan berlaku sebagai pengelola dana (mudharib) dan berhak mendapatkan bagi hasil (nisbah) atas hasil investasi. Mengenai besaran bagi hasilnya, tentu sudah disepakati sejak diadakan akad atau perjanjian tertulis (Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001).

Akad Mudharabah Musytarakah

Inti yang dapat diambil dari pengertian akad mudharabah musytarakah dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No.51./DSN/-MUI/III/2006 bahwa dalam akad mudharabah musytarakah modal yang diinvestasikan tidak hanya bersumber dari peserta (shohibul maal) akan tetapi juga dari perusahaan. Jadi ini adalah perpaduan antara akad mudharabah dan akad musytarakah. Pembagian hasil investasi bisa didasarkan atas kesepakatan ataupun menurut porsi modal masing-masing.

Jadi bagi hasil bisa didasarkan atas akad mudharabah dimana perusahaan berperan sebagai mudharib atau didasarkan atas akad musytarakah dimana perusahaan perperan sebagai musytarik. Jika perusahaan berperan sebagai musytarik maka pembagian hasil investasi akan dilakukan secara proporsional berdasarkan porsi masing-masing modal yang dimasukkan dalam portofolio investasi.

Tijarah

Tijarah (jual-beli) yang dimaksudkan dalam asuransi syariah adalah mudharabah (Fatwa Dewan Syari’ah NASIONAL No. 21/DSN-MUI/X/2001).

Surplus Tabarru’, Defisit Tabarru’, Waad dan Al-Qard Al-Hasan

Ketentuan defisit underwriting dan surplus underwriting diatur dalam fatwa DSN No.53/DSN-MUI/III/2006. Surplus underwriting adalah sebuah kondisi dimana premi yang dikumpulkan dan hasil investasi lebih besar dari pada biaya-biaya (administrasi, manajer investasi dan klaim). Kebalikan dari surplus underwriting adalah defisit underwriting (defisit tabarru’).

Jika terjadi surplus underwriting maka dana tersebut menjadi hak peserta sepenuhnya. Mengenai alokasinya bisa diadakan kesepakatan antar peserta yang harus dituangkan dalam akad Waad. Ada beberapa pilihan alternatif yang bisa dilakukan yaitu:

  1. Memasukkan dana surplus ke dalam cadangan akun tabarru’.
  2. Sebagian dana masuk ke dalam akun tabarru’ dan sebagian dibagikan kepada peserta (untuk peserta yang memenuhi syarat manajemen resiko/aktuaria)
  3. Sebagian dibagikan kepada peserta, sebagian kepada perusahaan dan sebagian disimpan sebagai dana cadangan tentunya dengan kesepakatan para peserta.

Lain hal jika dana tabarru’ mengalami defisit, maka perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan talangan dana berupa pinjaman (Qardh). Sebagai gantinya untuk membayar pinjaman tersebut akan diambil dari dana tabarru’ yang artinya ini menjadi tanggungan para peserta. 

Kemudahannya adalah pengembalian dana tersebut akan dilakukan ketika dana tabarru’ sudah bangkit atau terdapat surplus pada periode underwriting selanjutnya. Defisit tabarru’ adalah ketika dana tabarru’ tidak mencukupi untuk membayar klaim peserta.

Demikian ragam istilah yang digunakan dalam asuransi syariah yang bisa kami ulas, semoga menambah wawasan Anda mengenai dunia asuransi syariah.